Minggu, 10 Juli 2016

Komisi Yudisial periode 2016, ungkapan terbuka



Terimakasih Komisi Yudisial

Keberanian mengungkapkan rasa syukur dan terima kasih di blog pribadi mudah nudahan tidak dibaca sebagai hal yang cengeng namun lebih padahal ungkapan yang harus dinyatakan terbuka biat tidak melupakan kebaikan.
              Periode 2015 dan 2016 saya mengikuti seleksi, namun pada periode 2016 ini saya sangat bersimpati, para panelis hampir semuanya memancarkan keramahan disaat aku tidak dapat mengelak diri dari ketegaangan dan grogi (hal yang sangat biasa saat berperan sebagai orang yang diuji/ faktor psikologis). Hal yang sangat bagus adalah ketika ketua panelis mempersilahkan peserta jika ingin berdoa (masalah apakah doanya terjawab atau tidak itu masalah lain), artinya sejak dari awal mulai dari salam,  pimpinan sidang sudah melibatkan peran Tuhan (Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa...), persis sama dengan yang aku tulis dalam makalah bahwa kesemuanya diawali dengan kecerdasan spiritual dan emosial, baru tindakan lain menyusul.
                 Saya akui, justru diawal aku tersandung pertanyaan yang tidak kuketahui arahnya sehingga jawaban menjadi tidak memuaskan (semula ada sedikit suu'dhon kalau aku sengaja di jatuhkan, namun prasangka buruk tersebut tertepis denga senyum ramah dan sapaan santun yang mengatakan "masih di Semarang Pak). Demikian juga dengan panelis satu satunya wanita, wajah dan suaranya menjadikan adem bahkan kalau orang jawa bilang Nyes/ sejuk sekali, meski pertanyaannya bisa berarti tajam dan menyobek, namun hasil jawaban yang berupa klarifikasi terbuka saya sampaikaan apa adanya, masalah di percaya atau tidak saya yakin integritas dan nurani seorang ibu lebih bisa merasakan. Panelis lain dapat saya sampaikan hampir kesemuanya sangat bagus, jauh lebih bagus di banding pada periode 2015 (Pak Ibrahim, sangat -sangat bagus).
                 Ada hal yang menarik tapi mungkin lazim terjadi pada seorang yang berperan ditanya atau di minta penjelasanya, bahwa awal pertanyaan yang membuat orang tersandung secara psikologis sangat mempengaruhi jawaban berikutnya, hal itu memang benar-benar terjadi, karena hal-hal yang sangat aku hapal dan mengerti bisa menjadi hampa (blank) atau hilang begitu saja dari ingatan. Kucoba menganalisa mengapa bisa begitu, apa karena pengaruh usia, apa karena pengaruh tekanan sebelumnya, karena akan sangat berbeda jika pertanyaan tersebut dalam bentuk tertulis.
                   Dari kesemuanya yang saya tulis di awal, saya perlu menyampaikan ungkapan syukur bahwa apa yang saya terima saat ini sudah melebihi angan-angan, atau Tuhan telah memberi anugerah melebihi yang saya angan-angankan (Ultra petita), Matur nuwun Gusti paringane ganjaran :
1. Dapat bekerja selama 39 Tahun sebagai PNS (tidak semuanya bisa mencapai masa itu)
2. Bisa senantiasa sehat
3. Tidak hanya menjadi sarjana, tetapi bisa menjadi master bahkan doktor
4. Dikaranui kerukunan keluarga yang sangat luar biasa (tidak pernah bertengkar)
5. Kehidupan spiritual yang kualitasnya cukup baik
dan masih banyak lagi ganjaran yang dikaruniakan termasuk ganjaran bisa mengikuti seleksi calon hakim agung bahkan bisa mencapai tahap akhir sampai 2 kali, ini termasuk anugrah Illahi.
                   Motto pegangan saya adalah   Ikhitiar iku yekti pamilihe reh rahayu, anangin amung Gusti kang ngijabahi ( Usaha keras itu wajib dilakukan tujuannya untuk mencapai kesejahteraan, namun  demikian hanya Tuhan yang mengijinkan), Saya pikir-pikir mooto ini mirip dengan motto Ibu Sukma Violetta, SH, LLM yang berbunyi " berikhtriar seoptimal mungkin dan untuk hasilnya berserah diri kepada Tuhan.
Dalam laku spiritual doa malam saya sering melihat bahkan saya tulis dalam status FB tentang Lintang panjer esuk kang mandangi lan dadi pandom wong kang lumaku ing tengah wengi" kayaknya mirip juga dengan motto hidup Dr Aidul Fitriciada Ashari, SH, M.Hum. Ungkapan simpati dan penghargaan juga saya sampaikan kepada Pak Sasmito termasuk salam dari Istri dan anak-anak saya Pak, Pak Maradaman Harahap dan Pak Sumartoyo (meskipun hanya sekilas saya sangat bersimati Pak). Pak Jaja Ahmad Jayus sekaliugus Pak Farid Wajdi Terimakasih, saya bersimpati.
                     Tulisan ini sengaja saya buat tidak dalam bentuk sampul tertutup tetapi saya buat pada blog sebagai bagian dari keterbukaan daan berani mengungkapkan secara terbuka dan transparan, namun tetap tidak mengganggu independensi komisioner Komisi Yudisial RI karena pada kesempatan berikutnya saya sudah tidak bisa lagi. (Foto hanya menggambarkan semangat menimba ilmu yang tidak pernah habis)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar